Jumat, 01 Oktober 2010

Janji

Pernahkah Anda berbelanja sebuah barang di sebuah hypermarket yang
mengklaim diri sebagai harga termurah dan kemudian Anda tahu bahwa
harga di toko lain ada yang jauh lebih murah? Bagaimana perasaan Anda
saat itu? Sedikit-banyak pasti ada perasaan telah "ditipu"
atau "dikadalin". Jangan kecil hati. Saya pun pernah mengalaminya
berkali-kali. Bahkan baru beberapa hari lalu, saya mengalaminya lagi.

Saat itu, saya dan istri saya (Trifa) membeli shaver di sebuah
hypermarket kelas Internasional yang ada di sebuah mal besar di
Bandung. Harga alat cukur tersebut Rp 199.000. Kami membayarnya
dengan kartu kredit saya.

Setelah keluar dari hypermarket tersebut, kami melangkahkan kaki ke
sebuah toko buku besar yang kebetulan juga terletak dalam mal
tersebut, namun berbeda lantainya. Kami benar-benar kaget ketika
secara tidak sengaja melihat alat cukur tersebut ternyata dijual
dengan harga cuma Rp 125.000 pada counter konsinyasi di toko buku
tersebut.

Kami tentu langsung merasa "diperdaya". Sejujurnya bukan masalah
uangnya namun karena hypermarket tersebut mengklaim diri sebagai yang
termurah. Bahkan hypermarket asing ini memiliki dua program untuk
menjamin klaim tersebut yaitu barang kami beli kembali (jika tempat
lain ada yang lebih murah) atau diganti selisihnya (dari harga di
tempat lain).

Segera kami kembali ke hypermarket tersebut dan menemui bagian
pengaduan pelanggan. Petugas tersebut cukup ramah melayani kami.
Salut! Ia mengatakan akan mengembalikan uang kami (mendebet kembali
kartu kredit yang telah digosok untuk pembayaran tadi) jika kami bisa
membuktikan harga di toko buku tersebut jauh lebih murah. Jaminan
pernyataan inilah yang membuat kami mau capek-capek kembali lagi ke
toko buku yang selisih beberapa lantai dengan hypermarket tersebut.

Kami lantas membeli alat cukur di toko buku tersebut. Sayangnya,
ketika kami kembali lagi ke bagian pengaduan pelanggan hypermarket
tersebut, ia melayani kami lumayan lama. Yang membuat kami heran
bercampur bingung adalah ketika sang petugas ini menyampaikan pesan
dari pimpinannya. "Barusan di telepon beliau bilang, lain kali, lebih
baik bapak dan ibu cek dulu harga di toko buku tersebut sebelum
berbelanja di tempat kami," katanya.

Spontan kami kaget! Saya lalu mengatakan kepada petugas ini, kalau
itu prosedur standar yang harus kami lakukan sebelum berbelanja di
hypermarket tersebut, itu artinya janji harga termurah hanyalah
gombal belaka. Artinya, ia harus mengganti kampanye
menjadi, "Waspadalah! Waspadalah! Sebelum berbelanja di tempat ini,
Anda harus melakukan pengecekan harga ke toko lain."

Terus terang, petugas ini sempat sangat malu, meski ia tidak
mengatakannya toh saya bisa membacanya dari raut wajahnya yang
kemerahan. Saya cukup bersimpati kepadanya apalagi setelah ia
mengembalikan uang kami. Yang saya sayangkan adalah sikap pimpinannya
yang kurang peduli akan janji yang telah dikampanyekan sejak
hypermarket ini pertama kali buka di Bandung. Artinya, komunikasi
tentang program itu sebenarnya tidak jelas dan tidak ada
pendelegasian yang mantap sehingga sang petugas di lapangan
(frontliner) harus bolak-balik menelpon sang pimpinannya.

Jika hal ini ditarik ke dalam konteks kepemimpinan dan pemasaran maka
ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik. Pertama, janji
adalah utang. Sekali Anda berjanji, sebaiknya Anda menepatinya.
Pelanggan tidak peduli proses yang harus Anda tempuh untuk menepati
janji tersebut sebab yang diinginkannya adalah hasil akhirnya (end
result) meski sebagian pelanggan barangkali bisa berempati kepada
Anda jika Anda mengalami kesulitan dalam proses menepati janji
tersebut.

Kedua, janji sebuah perusahaan haruslah dikomunikasikan kepada
seluruh orang dalam perusahaan itu, terutama para frontliner di
bagian pengaduan pelanggan. Mentor saya dalam bidang marketing, Pa
Hermawan Kartajaya pernah berkata, "Sebagai perusahaan yang berjiwa
marketing maka setiap orang di dalam perusahaan tersebut hendaklah
memiliki rasa tanggung jawab untuk memasarkan perusahaan tersebut,
tidak hanya orang yang berada di divisi marketing!" Pernyataan itu
sangat tepat. Minimal karena citra perusahaan berada di tangan semua
karyawan, tidak hanya di divisi atau lapisan tertentu.

Ketiga, pendelegasian yang bertanggung jawab akan sangat membantu
dalam upaya menangani pelanggan yang kecewa. Artinya, frontliner di
bagian pengaduan pelanggan diberikan hak dalam batasa tertentu untuk
langsung melayani pelanggan yang kecewa tanpa harus meminta petunjuk
kepada atasannya.

Terus-terang, saya adalah pelanggan cukup loyal hypermarket tersebut.
Sayang kan, hanya karena satu perkara kecil, hubungan baik yang telah
terbina selama ini menjadi rusak. Lagipula, kasus seperti ini dapat
berdampak sangat buruk bagi citra perusahaan. Barangkali Anda masih
ingat survai tentang pelanggan yang kecewa? Biasanya ia akan
menceritakan hal itu kepada 8 – 12 orang. Sebaliknya, kalau ia puas,
ia akan menceritakan hanya kepada 2 – 4 orang. Kabar buruk memang
lebih cepat menyebar.

Semoga kita semua bisa memetik pelajaran berharga dari peristiwa
sederhana ini.

Sumber: Janji oleh Paulus Winarto. Paulus Winarto adalah pemegang 2
Rekor Indonesia dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yakni
sebagai pembicara seminar yang pertama kali berbicara dalam
seminar di angkasa dan penulis buku yang pertama kali bukunya
diluncurkan di angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar