Jumat, 01 Oktober 2010

Jati Diri: Jati+Diri

Mari kita telaah frase "jati diri". Sinonimnya adalah identitas diri. Namun, saya
ingin pelesetkan sedikit menjadi "jati" plus "diri". Anda tahu pohon jati? Beberapa
dekade lalu, kayunya sering digunakan sebagai bahan untuk perabotan rumah tangga,
seperti lemari dan meja serta kursi. Sekarang sudah semakin langka di alam karena
penggunaan yang eksesif. Sungguh sayang.
Mari kita mempermasalahkan soal konservasi pohon jati, namun kita kembali ke istilah
yang kita pelesetkan itu. Identitas diri = jati + diri.
Oke, kita semua tahu bahwa "diri" berarti diri kita sendiri, sedangkan "jati"
(bayangkan kayu jati) adalah contoh dari keteguhan dan kemampuan alias fleksibilitas
untuk membentuk diri. Dari sepotong kayu yang keras, ia mampu bermetamorfosa menjadi
perabotan rumah tangga yang berkualitas tinggi.
Idealnya, "jati diri" kita pun demikian. Kita tetap tidak kehilangan kepribadian
sebagai "jati" namun selalu siap untuk berubah menjadi sesuatu yang lebih berguna.
Tentu saja, tetap dikenal sebagai "jati". Kita perlu tetap dikenal sebagai diri kita
sendiri. Jadi, jika nama Anda adalah Budi, Anda tetaplah seorang Budi, namun
mempunyai ketrampilan dan kelebihan yang selalu bertambah dan selalu berubah dari
satu kualitas menjadi kualitas yang lebih baik.
Sebagai manusia pembelajar, kita selalu berubah. Semakin banyak belajar, tambah
banyak informasi yang diserap, dan semakin mampu menghubung-hubungkannya sehingga
menjadi tambah berarti dalam suatu kerangka berpikir yang semakin matang pula. Tidak
ada yang konstan di dunia ini, kecuali bahan dasar dari suatu substansi. Sebagai
manusia, kita terdiri dari fisik, psikis, dan emosi. Ketiga hal ini merupakan bahan
dasar alias substansi kita.
Bagaimana cara mempertahankan "kejatian" kita namun selalu siap menerima perubahan
dan bahkan ikut berubah sesuai dengan tuntutan zaman?

Pertama, selalu camkan di dalam hati bahwa saya adalah saya, bagaimana pun keadaan
fisik, psikis, emosi, dan finansial saya, saya tetaplah saya. Saya tidak akan
menjadi merasa berkekurangan di tengah-tengah kebingungan dan keraguan. Saya punya
sahabat setia yaitu saya sendiri. Saya cukup dengan apa yang saya miliki, namun saya
membuka hati dan pikiran untuk menjadi lebih baik daripada hari kemarin.

Kedua, saya siap menghadapi tantangan dengan hati yang lapang. Tidak ada rasa ragu
dan takut. Toh, apa pun terjadi, I am who I am and what I am. Tidak akan ada
perubahan soal siapa saya dan seperti apa identitas alias "jati diri" saya.

Ketiga, saya sadar bahwa untuk bisa bertahan hidup di tengah-tengah perubahan, saya
perlu mengikuti perubahan di lingkungan internal (hati dan pikiran) serta eksternal
(pekerjaan dan proses pembentukan diri). Untuk itu, saya siap untuk selalu
berkembang sepanjang yang diperlukan. Tidak ada yang konstan di dunia dan saya
menerima ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari diri saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar