Jumat, 01 Oktober 2010

Meskipun Aku tak Mengenalmu

Sudah tak terhitung aku lewat di jalan itu. Tak terhitung,
karena aku memang tak perlu menghitung. Tak perlu kuhitung
karena cuma itulah jalanku, karena di situlah memang jalan
menuju rumahku. Dan jika aku hendak pulang, cuma jalan
itulah yang bisa membawaku. Maka ke manapun aku hendak
pergi, dari manakah aku ingin pulang, cuma jalan itulah
jalanku.
Tapi meskipun jalanku cuma itu melulu, tak semua yang
tinggal di jalan itu mengenalku. Tapi meksipun tidak
saling kenal, kami pasti saling tahu, karena begitu
seringnya kami ketemu. Mereka tau patsi bentukku, bentuk
kendaraanku. Aku jadi tahu persis, ada sebuah keluarga,
yang pada jam-jam tertentu baru berangkat kerja. Mobilnya
bahkan sering harus maju mundur sedemikian lama, karena
sempitlah halamannya, seperti halamanku. Aku tahu persis,
ada jenis keluarga yang jika sore menjelang, gemar
bersantai di depan rumah, sambil menyita jalan gang.
Aku tahu persis di rumah yang lain lagi, tentang
anak-anaknya yang banyak dan gaduh. Anak-anak seperti tak
kenal masa lelah. Pulang sekolah sudah kedapatan naik
sepeda dan kebut-kebutan tanpa kenal bahaya. Di rumah yang
lain lagi, ada keluarga yang memakai separo jalan utuk
berjualan. Ramai sekali. Di sisi yang lain, ketika malam
menjelang, sekumpulan bapak-napak rajin berkumpul dan
berbincang sambil memajang bangku panjang di tepi jalan.
Entah pagi, siang dan malam hari, aku hampir mengenal
irama jalan itu, karena setiap kali aku memang cuma bisa
lewat jalan itu, jika hendak pulang ke rumahku.
Aku tak mengenal orang-orang yang aku ceritakan itu. Aku
hanya setiap kali bertemu. Tapi siapapun mereka, betapapun
aku tak mengenalnya, aku selalu bertegur sapa. Tidak
dengan kata-kata, cukup dengan berhenti dan menunggu
ketiak mobil orang itu maju dan mundur begitu lama, karena
sempitnya halaman rumahnya. Aku menunggunya, sampai mobil
itu menemeukan jalan.
Jika aku melewati jalan yang tersita untuk berjualan itu,
aku akan memelankan kendaraan. Tak kubutuhkan klakson
meskipun para pembeli berkerumun, parkir sembarangan dan
memapatkan jalan. Aku cukup berhenti dan menunggu, sampai
sorang-orang itu menyingkirkan sendiri kendaraannya yang
diparkir serampangan.
Jika aku lewat di depan rumah anak-anak yang gaduh itu aku
siap menginjak rema kapan saja, tanpa menunggu mereka ada
atau tak ada, tengah bersepeda atau tengah perang-perangan
di jalanan. Tak peduli apapun perbuatan mereka, aku cukup
bersiaga. Maka ketika anak itu benar-benar ngebut dan
hampir saja menabrakku, ibu anak itu sendirilah yang
tergopoh-gopoh, menjewer telinganya dan meminta maaf
kepadaku.
Jika malam menjelang dan kerumunan bapak-bapak yang
ngobrol itu menghadangku, aku buru-buru mematikan lampu.
Menyalakan lagi ketika kerumunan itu telah kulewati.
Begitu selalu sikapku setiap melewati jalan itu.
Bertahun-tahun kulakukan kebiasaan itu karena memang cuma
di situ jalanku, di situ rumahku.
Kebiasan ini bukan karena aku adalah manusia baik hati,
melainkan karena tuntutan kewajaran belaka: jika ada orang
lain buru-buru, mengalahlah. Jika jalanan sesak,
bersabarlah, jika pihak lain sedang ngebut, pelanlah, jika
lampumu bikin silau, matikanlah. Rumus ini jelas serupa
dengan jika engkau haus minumlah, jika engkau lapar
tidurlah, jika engkau sakt, mengaduhlah. Jadi tidak
dibutuhkan orang-orang baik hati untuk bisa melakukan
kebiasaan ini.
Jadi, selama ini aku cuma menjalankan ewajaran. Tapi cuma
karena kewajaran ini pun hasilnya amat mengagetkan, karena
orang-orang di sekujur jalan itu, hampir semuanya bersikap
ramah kepadaku, tanpa mereka harus mengenalku. Baru
bertingkah wajar saja sudah begini banyak temanku, apalagi
jika aku adalah orang yang dermawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar