Jumat, 01 Oktober 2010

Saat Jodoh Tak Kunjung Datang Barangkali,Kitalah Penyebabnya

Menjelang tengah malam, seorang ikhwan mengirim SMS
kepada saya. Dia seorang aktivis yang amat banyak
menghabiskan waktunya untuk menyebarkan kebaikan. Bila
berbicara dengannya, kesan yang tampak adalah semangat
yang besar di dadannya untuk melakukan perbaikan.
Kalau saat ini yang mampu dilakukan masih amat kecil,
tak apa-apa. Sebab perubahan yang besar takkan terjadi
bila kita tidak mau memulai dari yang kecil. Tetapi
kali ini, ia berkirim SMS bukan untuk berbagi
semangat. Ia kirimkan SMS karena ingin meringankan
beban yang hampir ada kerinduan yang semakin berambah
untuk memiliki pendamping yang dapat menyayanginya
sepenuh hati.

SMS ini mengingatkan saya pada beberapa kasus lainnya.
Usia sudah melewati tiga puluh, tetapi belum juga ada
tempat untuk menambatkan rindu. Seorang pria usia
sekitar 40 tahun, memiliki karier yang cukup sukses,
merasakan betapa sepinya hidup tanpa istri. Ingin
menikah, tapi takut ! tak bisa mempergauli istrinya
dengan baik. Sementara terus melajang merupakan
siksaan yang nyaris tak dapat ditahan. Dulu ia ingin
menikah, ketika keriernya belum seberapa. Tetapi niat
itu dipendam dalam-dalam karena merasa belum mapan. Ia
harus mengumpulkan dulu uang yang cukup banyak agar
bisa menyenangkan istri. Ia lupa bahwa kebahagiaan itu
letaknya pada jiwa yang lapang, hati yang tulus, niat
yang bersih dan penerimaan yang hangat. Ia juga lupa
bahwa jika ingin mendapatkan istri yang bersahaja dan
menerima apa adanya, jalannya adalah dengan menata
hati, memantapkan tujuan dan meluruskan niat. Bila
engkau ingin mendapatkan suami yang bisa menjaga
pandangan, tak bisa engkau meraihnya dengan, 'Hai,
cowok... Godain kita, dong.'

Saya teringat dengan sabda Nabi Saw. (tapi ini bukan
tentang nikah). Beliau berkata, 'Ruh itu seperti
pasukan tentara yang berbaris.'

Bila bertemu dengan yang serupa dengannya, ia akan
mudah mengenali, mudah juga bergabung dan bersatu. Ia
tak bisa mendapatkan pendamping yang mencintaimu
dengan sederhana, sementara engkau jadikan gemerlap
kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin
engkau jadikan gemerlap kemapananmu sebagai
pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan suami
yang menerimamu sepenuh hati dan tidak ada cinta di
hatinya kecuali kepadamu; sementara engkau berusaha
meraihnya dengan menawarkan kencan sebelum terikat
oleh pernikahan? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan
lelaki yang terjaga bila engkau mendekatinya dengan
menggoda?

Di luar soal cara, kesulitan yang kita hadapi saat
ingin meraih pernikahan yang diridhai tak jarang
kerana kita sendiri mempersulitnya. Suatu saat seorang
perempuan memerlukan perhatian dan kasih-sayang
seorang suami, ia tidak mendapatkannya. Di saat ia
merindukan hadirnya seorang anak yang ia kandung
sendiri dengan rahimnya, tak ada suami yang
menghampirinya. Padahal kecantikan telah ia miliki.
Apalagi dengan penampilannya yang enak dipandang.
Begitupun uang, tak ada lagi kekhawatiran pada
dirinya. Jabatannya yang cukup mapan di perusahaan
memungkinkan ia untuk membeli apa saja, kecuali
kasih-sayang suami.

Kesempatan bukan tak pernah datang. Dulu, sudah
beberapa kali ada yang mau serius dengannya, tetapi
demi karir yang diimpikan, ia menolak semua ajakan
serius. Kalau kemudian ada hubungan perasaan dengan
seseorang, itu sebatas pacaran. Tak lebih. Sampai
karier yang diimpikan tercapai; sampai ia tiba-tiba
tersadar bahwa usianya sudah tidak terlalu muda lagi;
sampai ia merasakan sepinya hidup tanpa suami,
sementara orang-orang yang dulu bermaksud serius
dengannya, sudah sibuk mengurusi anak-anak mereka.
Sekarang, ketika kesadaran itu ada, mencari orang yang
mau serius dengannya sangat sulit. Sama sulitnya
menaklukkan hatinya ketika ia muda dulu.

Masih banyak cerita-cerita sedih semacam itu. Mereka
menunda pernikahan di saat Allah memberi kemudahan.
Mereka enggan melaksanakannya ketika Allah masih
memberinya kesempatan karena alasan belum bisa
menyelenggarakan walimah yang 'wah'. Mereka tetap
mengelak, meski terus ada yang mendesak; baik lewat
sindiran maupun dorongan yang terang-terangan. Meski
ada kerinduan yang tak dapat diingkari, tetapi mereka
menundanya karena masih ingin mengumpulkan biaya atau
mengejar karier. Ada yang menampik 'alasan karier'
walau sebenarnya tak jauh berbeda. Seorang akhwat
menunda nikah mesti ada yang mengkhitbah karena ingin
meraih kesempatan kuliah S-2 ('Tahun depan kan belum
tentu ada beasiswa'). Ia mendahulukan pra-sangka bahwa
kesempatan kuliah S-2 tak akan datang dua kali, lalu
mengorbankan pernikahan yang Rasullah Saw. Telah
memperingatkan:

"Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk
meminang) yang engkau ridha terhadap agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila tidak engkau
lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan
akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi."
(HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).

Saya tidak tahu apakah ini merupakan hukum sejarah
yang digariskan oleh Allah. Ketika orang mempersulit
apa yang dimudahkan oleh Allah, mereka akhirnya
benar-benar mendapati keadaan yang sulit dan nyaris
tak menemukan jalan keluarnya. Mereka menunda-nunda
pernikahan tanpa ada alasan syar'i, dan akhirnya
mereka benar-benar takut melangkah di saat hati sudah
sangat menginginkannya. Atau ada yang sudah
benar-benar gelisah, tetapi tak kunjung ada yang mau
serius dengannya.

Kadangkala, lingkaran ketakutan itu terus belanjut.
Bila di usia-usia dua puluh tahunan mereka menunda
nikah karena takut dengan ekonominya yang belum mapan,
di usia menjelang tiga puluh hingga sekitar tiga puluh
lima berubah lagi masalahnya. Laki-laki sering
mengalami sindrom kemapanan (meski wanita juga banyak
yang demikian, terutama mendekati usia 30 tahun).
Mereka menginginkan pendamping dengan kriteria yang
sulit dipenuhi. Seperti hukum kategori, semakin banyak
kriteria semakin sedikit yang masuk kategori. Begitu
pula dengan kriteria tentang jodoh, ketika kita
menetapkan kriteria yang terlalu banyak, akhirnya
bahkan tidak ada yang sesuai dengan keinginan kita.
Sementara wanita yang sudah berusia sekitar 35 tahun,
masalah mereka bukan soal kriteria, tetapi soal apakah
ada orang yang mau menikah dengannya. Ketika usia
40-an, ketakutan yang dialami oleh laki-laki sudah
berbeda lagi, kecuali bagi mereka yang tetap terjaga
hatinya. Jika sebelumnya, banyak kriteria yang
dipasang, pada usia 40-an muncul ketakutan apakah
dapat mendampingi istri dengan baik. Lebih lebih
ketika usia sudah beranjak mendekati 50 tahun, ada
ketakutan lain yang mencekam. Ada kekhawatiran
jangan-jangan di saat anak masih kecil, ia sudah tak
sanggup lagi mencari nafkah. Atau ketika masalah
nafkah tak merisaukan (karena tabungan yang melimpah),
jangan-jangan ia sudah mati ketika anak-anak masih
perlu banyak dinasehati. Bila tak ada iman di hati,
ketakutan ini akhirnya melahirkan keputus-asaan.
Wallahu A'lam bishawab.

Ya... ya... ya..., kadang kita sendirilah penyebabnya,
kita mempersulit apa yang telah Allah mudahkan,
sehingga kita menghadapi kesulitan yang tak
terbayangkan. Kita memperumit yang Ia sederhanakan,
sehingga kita terbelit oleh kerumitan yang tak
berujung. Kita menyombongkan atas apa yang tidak ada
dalam kekuasaan kita, sehingga kita terpuruk dalam
keluh-kesah yang berkepanjangan.

Maka, kalau kesulitan itu kita sendiri penyebabnya,
beristighfarlah. Semoga Allah berkenan melapangkan
jalan kita dan memudahkan urusan kita.
Laa ilaaha illa Anta, subhanaka inni kuntu
minazh-zhalimin.

Berkenaan dengan sikap mempersulit, ada
tingkat-tingkatannya. Seorang menolak untuk menikah
boleh jadi karena matanya disilaukan oleh dunia,
sementara agama ia tak mengerti. Belum sampai
kepadanya pemahaman agama. Boleh jadi seorang
menunda-nunda nikah karena yang datang kepadanya beda
harakah, meskipun tak ada yang patut dicela dari agama
dan akhlaknya. Boleh jadi ada di antara kita yang
belum bisa meresapi keutamaan menyegerakan nikah,
sehingga ia tak kunjung melakukannya. Boleh jadi pula
ia sangat memahami benar pentingnya bersegera menikah,
sudah ada kesiapan psikis maupun ilmu, telah datang
kesempatan dari Allah, tetapi... sukunya berbeda, atau
sebab-sebab lain yang sama sepelenya.

Ada Yang Tak Bisa Kita Ingkari

Kadang ada perasaan kepada seseorang. Seperti Mughits
--seorang sahabat Nabi Saw-- kita selalu menguntit
kemana pun Barirah melangkah. Mata kita mengawasi,
hati kita mencari-cari dan telinga kita merasa indah
setiap kali mendengar namanya. Perasaan itu begitu
kuat bersemayan di dada. Bukan karena kita
menenggelamkan diri dalam lautan perasaan, tetapi
seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengutip dari
Al-Madaa'iny,

"Andaikan orang yang jatuh cinta boleh memilih, tentu
aku tidak akan memilih jatuh cinta."

Perasaan ini kadang mengganggu kita, sehingga tak
sanggup berpikir jernih lagi. Kadang membuat kita
banyak berharap, sehingga mengabaikan setiap kali ada
yang mau serius. Kita sibuk menanti --kadang sampai
membuat badan kita kurus kering-- sampai batas waktu
yang kita sendiri tak berani menentukan. Kita merasa
yakin bahwa dia jodoh kita, atau merasa bahwa jodoh
kita harus dia, tetapi tak ada langkah-langkah pasti
yang kita lakukan. Akibatnya, diri kita tersiksa oleh
angan-angan.

Persoalannya, apakah yang mesti kita perbuat ketika
rasa sayang itu ada?

1 komentar:

  1. Artikel yang bagus,... begitu mengena dlm hati q.... itu lh yg terjdi pdku saat ini....

    BalasHapus