Jumat, 01 Oktober 2010

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...

"De'... de'... Selamat Ulang Tahun..." bisik seraut wajah tampan tepat di
hadapanku. "Hmm..." aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur
kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontar
dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.

Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak
pernikahan kami lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma
diam, kecewa. Tak ada kado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai
mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi.
Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku,
dan selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam.
Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku.
Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku seperti putri hari ini cuma
memandangku.

Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa dipanku.
Memejamkan mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday to Me...
Happy Birthday to Me.... Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah
mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini aku sudah menikah. Terbayang
bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak punya suami yang
mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan. Bisa membelikan
blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa
mengajakku menginap di sebuah resor di malam dan hari ulang tahunku.
Bukannya aku yang harus sering keluar uang untuk segala kebutuhan
sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar. Sampai kapan aku mesti
bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.

"De... Ade kenapa?" tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.

Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya tepat
menancap di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan warna merah
jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan
itu enggan disodorkannya kepadaku.

"Selamat ulang tahun ya De'..." bisiknya lirih. "Sebenernya aku mau bangunin
kamu semalam, dan ngasih kado ini... tapi kamu capek banget ya?
Ucapnya takut-takut.
Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu.
Dari mana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur.
Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang
menggenang.

"Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng... Nggak bagus ya de?" ucapnya
terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.

Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu warna
favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey mengajakku
tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap
entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.

"Jelek ya de'? Maaf ya de'... aku nggak bisa ngasih apa-apa.... Aku belum
bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de'..." desahnya.

Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini.
Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air
matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih
dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi... mengapa sepicik itu pikiranku?
Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya karuniamu masih aku
pertanyakan.

"A' lihat aku...," pintaku padanya. Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga
bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi
aku, tapi keterbatasan dirinya menyeret dayanya untuk membahagiakan aku.
Tercekat aku menatap pancaran kasih dan ketulusan itu. "Tahu nggak... kamu
ngasih aku banyaaaak banget," bisikku di antara isakan. "Kamu ngasih aku
seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku
kesempatan untuk meraih surga-Nya. Kamu ngasih aku dede'," senyumku sambil
mengelus perutku. "Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku,
kamu ngasih aku mama...." bisikku dalam cekat.

Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati padaku,
melebihi keluargaku sendiri. "Kamu yang selalu nelfon aku setiap jam
istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalu telepon setiap siang,"
isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya semakin kencang di
pelukanku.

Rabbana... mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak dilihat
mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama suamiku tak
dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi, kendaraan
pribadi, jabatan suami yang oke, fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya
terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih bertanya.
Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai
apa ketulusannya atas apa saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan
keluhan? Teringat lagi puisi pemberiannya saat kami baru menikah... Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana...


(hidup ini hanya sekali, maka janganlah disia-siakan. Mari kita kembali
kepada niat yang baik InsyaAlloh akan mendapatkan yang baik pula.....Amien)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar